Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2022

SJ ( Bagian : 50 )

Gambar
LAKUKAN YANG SEPERTI KAMI LAKUKAN Satu bulan penuh kami di kampung, baru situasi kembali normal, setelah dua kali panen sawit, saatnya kami kembali pulang ke Medan. Abang iparku dapat bantuan dari kami, akan tetapi Bang Parlin memberikan bukan dalam bentuk uang, melainkan panen sawit.  "Kalau Abang, Kakak sukses suatu hari nanti, lakukan juga seperti yang kami lakukan pada kalian ini, ya, Kak, Bang," kata Bang Parlin ketika kakakku melepas kami pulang ke Medan.  "Iya, Parlin, akan kami ganti, ini catatannya semua, panen sawit itu dua puluh lima juta, upah dodos dan transportasi bikinlah lima juta, jadi kami berutang dua puluh juta," kata Abang iparku.  "Bukan begitu, Bang, bayarnya bukan sama kami, tapi sama orang yang tertimpa musibah seperti kalian ini, yang bisa merubah kembali nasibnya," jelas Bang Parlin.  "Alangkah mulianya hatimu, Parlin," kata kakakku.  Supir kami sudah menunggu di mobil. Supir kami ini memang serba bisa, satu

SJ ( Bagian : 49 )

Gambar
SALAK Pagi harinya, kami sudah sampai di kota salak Padang Sidempuan. Kami singgah di rumah makan khas Tapanuli Selatan untuk sarapan pagi. Begitu kami turun dari mobil, kami didatangi dua orang pria memegang salak.  "Salak sibakkua, dipangan sada mangido dua," katanya seraya memberikan salak untukku.  Kuterima dan ...  "Coba saja dulu, Bu," kata pria tersebut.  Kukupas dan kumakan. Waw! Enak, manis dan sedikit kelat.  "Sini, Bu, sini, ini salaknya," kata pria itu lagi.  Kuikuti saja, seraya menggendong si Butet, sementara Bang Parlindungan bawa si Ucok ke kamar mandi.  "Berapa, Pak?" tanyaku kemudian.  "Satu sumpit dua puluh ribu, beli tiga lima puluh ribu," jawabnya.  "Satu sumpit itu berapa?" "Oh, ini, Bu, ini sumpitnya," kata pria itu seraya menujukkan wadah anyaman.  "Aku ambil tiga," kataku.  Dengan cekatan pria itu membungkus tiga sumpit. Kubayar dan membawanya ke mobil.  "Aku beli s

SJ ( Bagian : 48 )

Gambar
SEAKAN MO PISAH SELAMANYA "Setelah berusaha, selanjutnya kita berdoa dan terus bertawakkal." begitu kata suami ketika kutanya amalan apa yang dia lakukan semalaman. Dia hampir tak tidur, baru kali ini kulihat suami segeilsah itu.  "Kasihan Kakak, sapinya mati tenggelam," kataku dengan raut wajah sedih.  "Iya, Dek, Abang lupa kasih tahu, Abang jadi ikut merasa bersalah, seharusnya dikasih tahu juga sapinya jangan dikandangkan atau diikat jika ada bencana. Bencana banjir atau kebakaran, sapi tak boleh diikat, karena binatang juga punya naluri bertahan hidup." kata suami.  "Mungkin karena kakak gak ikhlas yang pelihara sapi itu, Bang, sudah sering dia bilang muak dengan kotoran sapi," kataku lagi.  "Jangan bicara begitu, Dek, gak boleh itu,"  Ah, gak asik bangett ini suami, gak bisa diajak ghibah atau gosip. Padahal menurutku benar begitu. Kakak sudah berulangkali bilang capek urus sapi. Tiba-tiba HP-ku bergetar, ada panggilan

SJ ( Bagian : 47 )

Gambar
UJIAN DAN KEPASRAHAN Makin bahagia rasanya setelah kelahiran anakku yang kedua. Pengobatan parsiduduan atau ratus itu juga sangat manjur. Badan jadi ringan.  "Bang, adek mau diet," kataku pada suami di suatu hari. Saat itu kami lagi makan bersama.  "Diet?" "Iya, Bang, badan makin besar aja,"  "Gak kok, Dek, perasaan Abang tetap segitu kok," Memang benar, berat badanku tak pernah naik, naik hanya lima kilogram, itupun waktu hamil tua. Akan tetapi aku merasa badan sudah terlalu besar. Ingin juga langsing seperti orang-orang.  "Kok gak makan, Dek?" "Kan sudah kubilang, Bang, adek mau diet," "Begini sudah bagus, Dek, ngapain diet,"  "Iyalah, Bang, biar makin cantik, biar Abang makin senang."  "Hahaha,"  "Ketawa, Bang?" "Abang suka sapi gemuk, kalau gak gemuk, kasihan aja lihatnya," "Aku bukan sapi, Bang," "Yang bilang sapi siapa, Dek?" "Ish, Aba

SJ ( Bagian : 46 )

Gambar
"KONSULTAN.. HE HE" Sepulang dari klinik bersalin, suami benar-benar mempersiapkan parsiduduan tersebut. Rempah-rempah khusus dibakar di atas baskom seng. Aromanya unik, yang paling terasa adalah bau sre dibakar. Entah apa saja ramuannya aku tak tahu.  Suami menuntunku turun dari ranjang. Lalu berdiri ngangkang di atas bara api, dengan hanya memakai sarung. Rasanya memang hangat.  "Awas sarungnya terbakar, Dek," kata suami.  "Iya, Bang, iya," kataku.  Aku masih berpegangan pada suami sambil ngangkang.  "Berapa lama ini, Bang?" "Tiga jam, Dek," "Apaaaa, aku harus ngangkang gini tiga jam?" "Hahaha, Abang bercanda, Dek, lima menit saja," kata suami.  Setelah selesai marsidudu rasanya badan lebih ringan. Benar juga pengobatan tradisional ini masih manjur, jaman boleh maju, akan tetapi pengobatan seperti ini tetap dipertahankan.  Biarpun kami sudah punya ART, akan tetapi suami tetap mengurus dengan telatan, di

SJ ( Bagian : 45 )

Gambar
KEARIFAN LOKAL YANG ELOK Kemalangan di desa ini membuat aku benar-benar salut dan angkat jempol. Begitu Jenazah Almarhum Ayah mertua sampai di desa. Langsung diumumkan di Masjid, yang suaranya terdengar sampai ke seluruh desa. Sesaat kemudian, datang bapak-bapak muda dan beberapa pemuda. Tampa dikomando mereka sudah pergi ambil perlengkapan tenda dari rumah kepala desa.  Ibu-ibu mulai berdatangan, setiap Ibu-ibu yang datang membawa beras. Beras itu dikumpulkan di goni yang diletakkan dekat pintu. Baru dua jam, sudah hampir satu goni penuh. Malam harinya pelayat terus saja berdatangan.  "Siapa di antara kalian yang pegang uang?" tanya seorang pria tua.  "Aku, Pak," kataku seraya tunjuk tangan.  Pria itu tersenyum, "bukan kamu, Nak, di antara empat orang ini, siapa yang jadi bendaharanya, soalnya kami mau berikan uang STM satu desa," katanya.  Oh, begitu, langsung kutunjuk Bang Nyatan, dia yang paling tua. Pria itu lalu menyalami Bang Nyatan dan

SJ ( Bagian : 44 )

Gambar
AIR MATA SEORANG AYAH Lebaran di kampung suami sungguh memberikan kesan tersendiri. Tiap hari kami harus masak besar, lima keluarga yang harus makan. Setiap makan harus selalu makan bersama. Kadang bila ada yang belum datang akan ditunggu supaya bisa makan bersama.  Adikku pulang lebih dulu, dua hari lebaran mereka sudah pulang ke Medan. Tinggal Siregar empat bersaudara bersama Ayah mertua. Selama lebaran perawat Ayah mertua juga pulang kampung. Ini kesempatan bagi Bang Parta, Bang Nyatan mengurus orang tua mereka. Aku sampai terharu melihat seorang bos besar begitu telatan mengurus orang tua.  "Maen, berapa lagi uang Amang Boru?" tanya Ayah mertua di suatu pagi, di empat hari lebaran. Aku memang dipercaya memegang uang Ayah mertua, menggaji perawat dan membeli obat.  "Masih tetap segitu, Mang Boru," jawabku. Memang uang yang disimpan Ayah mertua lewat aku tidak berkurang, karena Bang Nyatan dan Bang Parta rutin mengirim setiap bulan.  "Bah, kenapa

SJ ( Bagian : 43 )

Gambar
"PAHLAWAN TANPATANDA JASA"  Tak kuberitahu pada Bang Parlin, kenapa ustaz itu tiba-tiba berubah, tak juga dia bertanya, ingin juga rasanya aku menyombongkan diri, kalau saja gini-gini, aku juga bisa jadi pahlawan.  Ustaz itu sampai beberapa kali menelepon suami, ingin juga aku suami periksa isi inbox, akan tetapi tidak dia periksa juga. Si ustaz pun mungkin tidak memberi tahu karena malu.  "Ustaz itu padahal teman Abang, kami besar bersama, sekolah di pesantren yang sama, bedanya dia sampai tamat, abang tidak," kata suami di suatu sore. Saat itu kami lagi berjalan sore-sore sambil bawa si Ucok.  "Mungkin maksudnya baik, Bang, dia kira mungkin Amang Boru benar ditelantarkan," jawabku kemudian.  "Kok adek gitu sekarang?"  "Gitu kek mana, Bang?" "Tumben berprasangka baik, biasanya adek yang duluan marah?" Ah, suamiku ini tak tahu saja, ustaz itu sudah habis kumarahi di inbox, karena kumarahilah makanya dia berubah, mi

SJ ( Bagian : 42 )

Gambar
MERASA EGOIS .. TAPI ... Kembali ke Medan, kota tempat aku lahir dan dibesarkan, kota yang jadi pilihan tempat tinggal kami. Sampai di Medan, ternyata suami kasih suprise, kejutan yang tak kusangka-sangka.  "Siapa ini, Bang?" tanyaku pada suami. Begitu melihat seorang wanita setengah tua menunggu di depan rumah kami.  "Ini bahasa halusnya temanmu di sini, bahasa keren ya Asisten rumah tangga," kata Bang Parlindungan.  "Bahasa kasarnya pembantu," sambung wanita tersebut seraya menyalamiku.  "Kapan Abang cari ini?" aku masih bingung.  "Itulah gunanya ini, Dek, dipergunakan dengan baik, bukan untuk menggosip," kata suami seraya menunjukkan HP barunya.  "Kok ...?"  "Begini, Dek, si Ucok kan lagi lasak-lasaknya, si Dede mau datang, adek pasti kerepotan, makanya Abang ajak ibu ini," kata Bang Parlin seraya membuka pintu dan mempersilahkan masuk.  Ibu tersebut masuk seraya membantu mengangkat barang kami. Aku ma